Membaca Dakwah Kebudayaan Dedi Mulyadi
Oleh: Deden Dinar Mukti ( Pegiat Budaya Sunda )
|
BANDUNG (JBN) - Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
serentak 2018 berbagai isu dan rumor berkembang. Tak terkecuali di Bumi Tatar
Pasundan, Jawa Barat. Sebagai provinsi yang memiliki jumlah pemilih terbesar,
Jawa Barat menjadi daerah “seksi” sehingga menarik perhatian khalayak umum.
Namun, belakangan, isu dan rumor yang beredar
menunjukkan makin mengkhawatirkan. Di katakan mengkhawatirkan karena isu
pembunuhan karakter melalui isu agama nampaknya akan kembali terulang di Jawa
Barat, khususnya pada sosok Dedi Mulyadi yang masuk dalam tokoh potensial untuk
bertarung dalam bursa Pilkada Jabar 2018.
Dedi Mulyadi belakangan ini nampaknya harus
menghadapi badai rumor yang ditiupkan oleh pihak tertentu terkait persoalan
cara dia berdakwah. Sebagai seorang budayawan, lelaki mantan Ketua HMI
Purwakarta ini dituding sebagai penyembah berhala, dan raja syirik.
Tudingan tersebut muncul lantaran Dedi Mulyadi
gencar menggelar dan kembali mengangkat budaya Sunda selama menjabat Bupati
Purwakarta dalam berbagai kebijakan. Ia kerap menggelar parade budaya Sunda
sebagai spirit dalam membangun Purwakarta. Selain itu yang kerap dipersoalkan
pendirian patung yang banyak bertebaran di berbagai sudut kota Purwakarta.
Sebagai warga Nahdiyin bahkan menjadi pengurus
NU Purwakarta, Dedi Mulyadi sesungguhnya telah melakukan dakwah dengan semangat
aswaja. Islam yang rahmatan lil alamin, menebar keramahan dan solidaritas,
serta mengembangkan Islam tanpa menihilkan kebudayaan lokal sesuai spirit Islam
Nusantara. Bahkan ia juga dikenal dekat dengan para kyai sepuh NU, termasuk
Rais Aam PB NU KH. Makruf Amin. Pendek kata, keislaman dan keindonesian Dedi
Mulyadi senyatanya sangat kuat dan justru aneh ketika di labelisasi anti-Islam.
Dakwah Wali
Jika kita sedikit mau membaca sejarah
bagaimana Islam hadir di Nusantara, cara dan metode Dedi Mulyadi sebenarnya tak
ada yang aneh dan janggal. Sebab, sebagaimana diketahui, para penyebar Islam di
Tanah Air juga memanfaatkan media kebudayaan sebagai piranti dakwah.
Para wali songo, misalnya, secara apik dan
mengesankan bisa mengemas kebudayaan lokal menjadi media untuk dakwah sehingga
tidak menimbulkan disharmoni, memupuk kerukunan, dan mempertebal toleransi.
Salah satu Wali Sanga yang cukup dikenal
masyarakat Indonesia adalah Sunan Kalijaga. Ia menyebarkan Islam dengan model
kebudayaan yang mampu beradaptasi dengan kearifan lokal. Spirit kearifan lokal
berbentuk pembangunan masjid Agung Demak, kesenian wayang bernuansa Islami dan
tembang/lagu Ilir-ilir. Dengan pola demikian, dakwah Sunan Kalijaga mampu
mendapatkan hati dan disambut oleh masyarakat. Selain itu, Sunan Kalijogo, juga
bisa mengkomodifikasi wayang sebagai sarana dakwah tanpa menihilkan pesan dakwahnya.
Islam tidak lahir dari ruang kosong, melainkan
selalu mampu berdialog dengan kearifan lokal termasuk budaya dan peradaban
manusia Indonesia. Perpaduan budaya ini berjalan saling menegasikan,
mempengaruhi dan menyempurnakan sehingga terbentuk pemahaman Islam Nusantara.
Hasil interaksi Islam dan budaya lokal pada akhirnya akan menghasilkan dua
kemungkinan yaitu Islam mewarnai mengubah, mengolah dan memperbaharui budaya
lokal, kemungkinan kedua adalah Islam yang justru diwarnai budaya lokal (Simuh:
2003).
Jika demikian, melihat dakwah Wali Songo
sesungguhnya sangat relevan dan kontekstual. Hal inilah, yang hemat penulis,
direplikasi oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dalam menyebarkan spirit Islam
melalui kebudayaan Sunda. Islam yang tak sekadar simbolik, melainkan Islam yang
benar-benar mampu mempunyai makna bagi masyarakat.
Persolan Politik
Isu yang menyerang Dedi Mulyadi belakangan ini
sesungguhnya karena persoalan politis. Sebagai sosok yang digadang-gadang oleh
berbagai masyarakat, Bupati Purwakarta ini saat ini hendak diganjal untuk
memimpin Jabar.
Karena itu, hantaman sebagai penyembah patung
dan raja syirik sesungguhnya sekadar isu murahan karena tak ada celah
mengoreksi dari sisi kebijakan-kebijakan yang memang bermanfaat bagi
masyarakat. Kenapa isu ini muncul jelang Pilkada? Ini pertanyaan menarik dan
penting.
Budaya Sunda adalah kekayaan Jabar yang harus
dikelola dan dikembangkan, bukan malah di bumi-hanguskan. Toh, budaya Sunda
bukan musuh Islam, melainkan bisa dipadukan untuk mewujudkan Islam sesungguhnya
mewujudkan baldatun thoyibatun warrobun ghofur.
Karena itu, kita harus jernih membaca
beredarnya isu atau gossip yang cenderung mendeskreditkan Dedi Mulyadi sebagai
penyembah patung dan raja syirik. Padahal, sesungguhnya ia sedang meniru ajaran
Wali Songo dalam berdakwah sehingga dakwah tersebut bukan malah menimbulkan
masalah baru, melainkan menjadi daya rekat, memupuk gotong-royong, dan saling
menghormati.
Wallohualam
Komentar
Posting Komentar