DPI Solusi Dari Peraturan dan UKW Abal-Abal Dewan Pers
DPI Solusi Dari Peraturan dan UKW
Abal-Abal Dewan Pers
Jurnal Bayangkara News,
Jakarta- Dewan Pers kerap menuding puluhan ribu media yang belum diverifikasi
dan ratusan ribu wartawan yang belum ikut Uji Kompetensi Wartawan atau UKW,
dengan sebutan abal-abal. Upaya Dewan Pers mencitrakan media dan wartawan
abal-abal itu sukses membuat wartawan dan seluruh pemilik media kalang-kabut,
sehingga terpaksa berduyun-duyun mengikuti proses verifikasi media dan kegiatan
UKW dengan biaya tinggi sekalipun.
Sangat sulit mencari pembenaran
bahwa pelaksanaan UKW versi Dewan Pers tersebut memang murni untuk peningkatan
kualitas dan standar profesi wartawan dan bukan untuk tujuan meraup lembaran
rupiah di balik itu.
Tudingan abal-abal telah menjadi
senjata Dewan Pers untuk menekan wartawan dan media agar mengikuti verifikasi
media dan kegiatan bisnis UKW.
Disadari atau tidak Dewan Pers
telah dengan bangganya menjadikan wartawan sebagai objek bisnis UKW abal-abal.
Mengutip ulasan mengenai Definisi
sertifikasi kompetensi kerja versi Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau
BNSP, bahwa Sertifikasi Kompetensi adalah proses pemberian sertifikasi yang
dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu
kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional. Untuk memastikan dan memelihara kompetensi
diperlukan sistem sertifikasi yang kredibel
berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
ketenagakerjaan yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Perlu diketahui
juga, Lembaga Sertifikasi Profesi atau LSP yang merupakan kepanjangan tangan
dari BNSP, proses pemberian lisensinya mengadopsi kepada standar ISO
17024.
Nah, dari pertimbangan di atas
dapat diketahui dengan jelas bahwa ke-27 LSP versi Dewan Pers tidak mengacu
pada ketentuan tersebut atau tidak professional dan memenuhi standar ISO 17024
alias abal-abal.
Sejatinya, sertifikasi kompetensi
berkaitan dengan pencapaian pengalaman dan kemampuan dari tenaga kerja
professional. Jadi perlu digaris bawahi bahwa lembaga yang dapat menentukan
seseorang bekerja atau tidak adalah industri atau perusahaan pers (bagi
wartawan). BNSP bersama-sama dengan LSP
hanya berada pada posisi membantu industri (perusahaan pers) untuk
meyakinkan pihak pelanggannya bahwa mereka menggunakan tenaga (wartawan)
kompeten.
Dewan Pers sepertinya perlu
mengetahui bahwa terdapat 3 (tiga) jenis penerapan sertifikasi kompetensi yaitu
Penerapan Wajib Setifikasi, penerapan Disarankan Sertifikasi (advisory) dan
penerapan Sukarela Sertifikasi (voluntary). Penerapan Wajib pada sertifikasi
kompetensi dilakukan oleh otoritas kompeten sesuai bidang tekhnisnya
berdasarkan regulasi perdagangan jasa antar negara (WTO) terutama GATS yang
diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, sehingga
penerapan Wajib Sertifikasi harus mengacu pada perjanjian ini. Penerapan Wajib
Sertifikasi Kompetensi didasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan safety
(keselamatan), security (keamanan), dan mempunyai potensi dispute
(perselisihan) besar di masyarakat, dan seharusnya dinotifikasikan ke WTO.
Jadi sangat jelas dan terang
benderang bahwa UKW bagi wartawan tidak wajib. Dengan begitu, sudah terbukti
UKW yang dilaksanakan Dewan Pers ternyata tidak masuk pada jenis Penerapan
Wajib Sertifikasi. Yang paling tepat UKW bagi wartawan diterapkan adalah jenis
Penerapan Disarankan. Karena dalam program ini pemerintah memberikan insentif
apabila masyarakat turut berpartisipasi dalam program ini, seperti bantuan
sertifikasi, bantuan pengembangan kelembagaan dan sebagainya. Sistem inilah
yang paling banyak dilaksanakan di dalam negeri. Nah, sistem Penerapan
Disarankan Sertifikasi inilah yang paling tepat diterapkan kepada wartawan
untuk UKW. UKW seharusnya tidak dijadikan legitimasi seseorang disebut wartawan
atau bukan wartawan.
Kebutuhan UKW ini sesungguhnya
untuk meyakinkan pelanggan Koran atau pembaca media online, dan pemirsa
televisi dan radio untuk percaya bahwa proses pembuatan berita tersebut layak
dipercaya karena dikerjakan oleh wartawan professional yang bersertifikat
UKW.
Dengan demikian publik atau
masyarakat pembaca dan pemirsalah yang menjadi penentu rating maupun jumlah
pembaca dan pemirsa dari berita media yang diyakini nilai kebenarannya. Semua
akan terseleksi secara alamiah tanpa harus dibuat surat edaran ke mana-mana
oleh Dewan Pers mengenai wartawan atau media mana yang harus dilayani.
Seperti contoh mengenai regulasi
tentang makanan biasanya ada label halal
dari MUI sehingga masyarakat tahu makanan apa dan restoran mana yang halal
dikonsumsi.
Seharusnya, hal itu yang
dilakukan Dewan Pers. Tidak perlu memusuhi dan mencela wartawan dan media
dengan sebutan abal-abal. Cukup label terverifikasi Dewan Pers dan wartawan
bersertifikat UKW dipampang di halaman depan media. Selebihnya biarkan masyarakat
yang memilih dan menentukan media seperti apa yang layak dibaca dan ditonton
serta didengarnya.
Berdasarkan pengalaman di
lapangan, wartawan itu menjadi professional bukan karena ikut UKW abal-abal
versi Dewan Pers, melainkan karena sebelum menjadi wartawan terlebih dahulu
dilatih dan dididik oleh pimpinan di masing-masing media. Learning by doing
atau belajar sambil mengerjakannya. Pendidikan dan peningkatan kualitas itu
lazimnya dilakukan oleh level pimpinan redaksi atau redaktur kepada reporter dan
Pimpinan redaksi kepada para redaktur di bawahnya. Itu mekanisme umum yang
terjadi di keredaksian dalam menjalankan pekerjaan jurnalistik.
Kalau kemarin ada yang menulis
bahwa UKW akan memisahkan antara wartawan professional dan wartawan abal-abal
tentunya terbantahkan. Parameter seperti itu justeru terlalu sempit dan
tendensius.
Buktinya, sampai hari ini kita
masih disuguhkan pemandangan media-media mainstream berskala nasional
‘melacurkan diri’ dengan menjual idealisme pers melalui pemberitaan yang terlalu
berpihak kepada arah politik kelompok penguasa. Tulisan ini bukan anti penguasa
tapi untuk membuktikan bahwa parameter professional media terverifikasi, dengan
segudang wartawan UKW, tidak akan menjamin bahwa karya jurnalistik abal-abal
tidak akan terjadi.
Berkaitan dengan verifikasi media
yang dilaksanakan Dewan Pers, sudah menjadi pembahasan hangat di kalangan
wartawan. Media yang belum diverifikasi Dewan Pers kerap mengalami tindakan
diskriminasi dan kriminalisasi akibat pemberitaan. Bahkan, surat edaran Dewan
Pers ke seluruh pemerintah pusat dan
daerah, dan ke perusahaan-perusahaan nasional dan daerah telah mengancam
eksistensi perusahaan pers yang belum terverifikasi Dewan Pers. Dewan Pers
telah menjelma menjadi lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan penuh
untuk mengatur pemerintah pusat di tingkat kementrian, pemerintah daerah, dan
bahkan perusahaan pelat merah dan swasta untuk melaksanakan ketentuan yang
dibuatnya hanya melalui selembar Surat Edaran. Begitu superiornya Surat Edaran
Dewan Pers sehingga para menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pemimpin
perusahaan nasional dan daerah tidak berani melawan meskipun jelas-jelas itu
(surat edaran Dewan Pers) melanggar dan mencederai kemerdekaan pers yang
dijamin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sudah sangat jelas bahwa Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang
Pers berbunyi : ‘Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan
perusahaan pers.’ Berbicara masalah hak, maka sebagus apapun peraturan Dewan
Pers (menurut dia) jika melanggar hak asazi manusia maka akan berhadapan dengan
pelanggaran konstitusi.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mengatur
lembaga-lembaga (bukan hanya lembaga negara) yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan lainnya sebagai berikut : “Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepal Desa atau
yang setingkat.”
Kemudian, Pasal 8 ayat (2) UU.
No. 12 Tahun 2011 selanjutnya mengatur bahwa :
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.”
Dalam pasal 15 ayat (2) huruf F,
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disebutkan Dewan Pers
melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : ‘memfasilitasi
organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers
dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.’
Sangat jelas di situ, Dewan Pers
tidak diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk membuat peraturan-peraturan
sendiri. Bahkan dalam Undang-Undang Pers jelas tertulis bahwa fungsi Dewan Pers hanya ‘memfasilitasi.’ Jadi
organisasi-organisasi pers lah yang berhak dan berwenang membuat
peraturan-peraturan di bidang pers yang difasilitasi oleh Dewan Pers.
Patut diakui bahwa persoalan yang
menjadi kekuatiran dan keresahan sekelompok elit yang mengaku pers
professional, adalah dampak dari kemerdekaan pers yang dijamin Undang-Undang
telah membuka peluang yang sangat luas dan mudah bagi warga masyarakat untuk
mendirikan usaha media dalam skala kecil dan menengah. Dalam prakteknya, memang
banyak kejadian memprihatinkan dimana sebagian kecil warga masyarakat yang
keliru dan salah menggunakan media sebagai alat untuk memeras pejabat dan
pengusaha. Namun demikian, itu (penyalahgunaan media) bukan berarti secara
global Dewan Pers bisa menggenaralisir dan mencitrakan negative terhadap 43
ribuan media yang belum diverifikasi sebagai media abal-abal yang didirikan
dengan tujuan untuk memeras pejabat. Tugas untuk menindak dan menertibkan itu
(kasus pemerasan) bukan urusannya Dewan Pers melainkan pihak kepolisian dan
organisasi perusahaan pers dan organisasi wartawan.
Sudah sangat jelas bahwa
Peraturan Dewan Pers sendiri Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar
Perusahaan Pers pada poin ke 17 disebutkan : ‘Perusahaan Pers Media Cetak
diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media
penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia.’ Jadi verifikasi media
itu tugas organisasi pers untuk menertibkan dan mengantisipasi agar tidak
terjadi penyalahgunaan media.
Namun, pada prakteknya
peraturannya dilanggar sendiri oleh Dewan Pers. Verifikasi media yang
seharusnya dilakukan oleh organisasi perusahaan pers justeru diambil alih
langsung oleh Dewan Pers.
Sedangkan untuk media online yang
saat ini berjumlah puluhan ribu media ternyata belum ada peraturannya sama
sekali tentang verifikasi. Jadi, verifikasi media online yang dilakukan Dewan
Pers sesungguhnya selain bertentangan dengan Undang-Undang, juga tidak memiliki
dasar hukum.
Dengan segala pertimbangan dan
acuan hukum di atas maka dapat kami simpulkan bahwa apa yang dilakukan Dewan
Pers tentang Verifikasi Perusahaan Pers dan pelaksanaan kegiatan UKW bagi
wartawan adalah tidak mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku
alias abal-abal.
Persoalan lain yang tak kalah
serius adalah sulitnya akses warga masyarakat di daerah yang menjadi korban
pemberitaan dan atau wartawan lokal yang menjadi korban kekerasan atau
diskriminasi dan pelarangan peliputan, untuk melapor ke Dewan Pers karena jarak
dan biaya ke Jakarta cukup memberatkan. Tak jarang pihak-pihak yang merasa
dirugikan atau korban pemberitaan terpaksa melaporkan dan menyelesaikan
sengketa pers melalui jalur pidana ke pihak kepolisian di daerah. Selama
bertahun-tahun Dewan Pers membiarkan kondisi ini terus terjadi dan dialami
wartawan dan media. Bahkan Dewan Pers justeru ikut masuk di dalam persoalan kriminalisasi
pers dengan membuat rekomendasi ‘sesat’ yang isinya menyatakan bahwa wartawan
yang membuat berita bukan wartawan karena belum ikut UKW, dan media yang
memberitakan belum diverifikasi, sehingga merekomendasikan kepada pihak pengadu
agar meneruskan sengketa pers melalui jalur pidana umum atau pelanggaran UU
ITE.
Sebagai solusi dari seluruh
permasalahan di atas, baru-baru ini Sekretariat Bersama Pers Indonesia
mengumpulkan ribuan wartawan dari berbagai penjuru tanah air untuk mengadakan
Musyawarah Besar Pers Indonesia tahun 2018. Mubes ini bertujuan untuk memberi
ruang seluas-luasnya bagi wartawan Indonesia untuk menentukan sendiri masa
depannya. Mubes Pers Indonesia 2018 ini telah menghasilkan sebuah keputusan
besar yakni Deklarasi Pembentukan Dewan Pers Independen atau DPI. Keputusan
untuk membentuk DPI ini adalah sebagai jawaban atas kinerja buruk Dewan Pers
yang selama ini dianggap sebagai ‘perusak’ kemerdekaan pers. Ratusan milyar
rupiah bahkan mungkin sudah triliunan rupiah anggaran negara selama
bertahun-tahun habis melalui sekretariat Dewan Pers di Kementrian Kominfo untuk
pengembangan kualitas pers nasional, namun masalah pers tidak juga
terselesaikan. Sebesar itu anggaran negara tercurah bagi sekretariat Dewan Pers
namun masih ada saja sebutan abal-abal terhadap puluhan ribu media dan ratusan
ribu wartawan oleh Dewan Pers. Bahkan,
akhir-akhir ini begitu marak kriminalisasi pers terjadi akibat peran
rekomendasi Dewan Pers di dalamnya. Satu buah berita seharga nyawa sudah
terjadi di Kalimantan Selatan. Almarhum Muhammad Yusuf meregang nyawa dalam
tahanan akibat dikriminalisasi karya jurnalistiknya. Ini bukti bahwa Dewan Pers bukan hanya gagal
melindungi kemerdekaan pers tapi telah menjadi bagian dalam upaya
mengkiriminalisasi pers. Untuk itulah DPI akan hadir sebagai penyelamat
kemerdekaan pers. Nantikan pemilihan Anggota Dewan Pers Independen oleh 51
anggota tim formatur yang akan mengadakan rapat pemilihan pada awal tahun 2019
nanti melalui Kongres Wartawan Indonesia 2019. Kita tentukan sendiri masa depan
pers Indonesia menuju pers yang professional dan bertanggung-jawab.(Red-JBN)
Penulis : Heintje G. Mandagie - Ketua
Tim Formatur Pemilihan Dewan Pers Independen/Sekretaris Sekber Pers Indonesia
Komentar
Posting Komentar