PERJANJIAN INTERNATIONAL YANG HARUS KITA INGAT MENGENAI IMPLEMENTASI DAN ASPEK - ASPEK HUKUM DAN SANKSI HUKUM BAGI SETIAP NEGARA DALAM UPAYA PENERAPAN DAN PELAKSANAAN LAJU HUKUM DARI REFERENSI TENTANG ADANYA SEJARAH PERJANJIAN

PERJANJIAN  INTERNATIONAL YANG HARUS KITA INGAT MENGENAI IMPLEMENTASI DAN ASPEK - ASPEK HUKUM DAN SANKSI HUKUM BAGI SETIAP NEGARA  DALAM UPAYA PENERAPAN DAN PELAKSANAAN LAJU HUKUM DARI REFERENSI TENTANG ADANYA  SEJARAH  PERJANJIAN 

DITULIS OLEH :
SULTAN PATRA KUSUMAH VIII


Jurnal Bayangkara News, ---  Mungkin sejarah yang tidak mungkin bisa kita lupakan di antaranya adalah mengenai perjanjian-perjanjian yang terjadi di belahan dunia.

Mengingat tentang adanya perjanjan warsawa. Perjanjian Warsawa adalah perjanjian antara Jerman Barat dan Republik Rakyat Polandia. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kanselir Willy Brandt dan Perdana Menteri Józef Cyrankiewicz di Istana Presiden Warsawa pada 7 Desember 1970, dan disahkan oleh Bundestag Jerman Barat pada 17 Mei 1972.

Dalam isi perjanjian ini, kedua belah pihak berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan dan menerima perbatasan yang sudah ada garis Oder-Neisse, yang dipaksakan kepada Jerman oleh Sekutu dalam Konferensi Potsdam 1945 setelah berakhirnya Perang Dunia II. Penetapan perbatasan ini menjadi topik yang cukup sensitif sejak saat itu, karena Polandia khawatir bahwa pemerintah Jerman mungkin berusaha untuk merebut kembali bekas wilayahnya di timur. Dari perspektif Polandia, pemindahan wilayah-wilayah tersebut dianggap sebagai kompensasi atas bekas wilayah Polandia di sebelah timur Garis Curzon ("Kresy") yang dianeksasi Uni Soviet pada tahun 1939.

Perjanjian Warsawa adalah elemen penting dari Ostpolitik, yang dicanangkan oleh -Kanselir Brandt dan didukung oleh partai berkuasa Demokrat Sosial. Sebagai hasil Perjanjian Penyelesaian Akhir terhadap Jerman 1990, garis Oder-Neisse ditetapkan kembali tanpa merujuk pada Perjanjian Perbatasan Jerman-Polandia, yang ditandatangani pada tanggal 14 November 1990 oleh Jerman bersatu dan Polandia.

Walaupun pada waktu itu terjadi kontroversi Di Jerman Barat, Brandt dikritik keras oleh partai oposisi konservatif CDU/CSU, yang menganggap kebijakannya sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan nasional.

Kalau kita kaji dari perjanjian tersebut, malah ada lagi perjanjian yang berkesan tergesa-gesa yaitu perjanjian breda.

Perjanjian Breda ditandatangani di kota Breda, Belanda, tanggal 31 juli (kalender Gregorian), 1667, oleh Inggris, Republik Belanda (Belanda), Prancis, dan Denmark–Norwegia. Kesepakatan yang dibuat tergesa-gesa ini mengakhiri Perang Anglo-Dutch Kedua (1665-1667) untuk keuntungan Belanda, sementara pasukan Louis XIV's mulai menyerang Spanyol Belanda sebagai bagian dari War of Devolution, namun meninggalkan banyak pertentangan teritori yang tidak terselesaikan.

Ketika itu Laksamana Madya Michiel de Ruyter hampir menguasai lautan di selatan pantai Inggris, mengikuti sukses Raid of Medway, dan kehadiran-nya didorong Komisioner Inggris untuk mencapai perdamaian secepatnya. Negosiasi, yang telah lama dirancang, dan telah dimulai di Breda sebelum serangan, hanya membutuhkan sepuluh hari untuk diselesaikan.

Sedangkan yang terjadi di indonesia tentang Pembuatan Perjanjian Internasional Yang Saya Pahami. Dalam hal pembuatan perjanjian internasional di Indonesia, pada saat sebelum adanya perubahan dalam UUD 1945, pasal yang digunakan adalah Pasal 11 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa: "Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain.”


Di awal kemerdekaan, pembuatan perjanjian internasional didasarkan pada Pasal 175 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menyebutkan: “Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain kecuali ditentukan lain dengan undang-undang federal,perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan undang-undang.
Masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain yang  dilakukan oleh Presiden dengan kuasa undang-undang.”

Selanjutnya, Pasal 120 Undang-
Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 memiliki substansi yang sama dengan Pasal 175 Konstitusi RIS, yang menyatakan: “Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain.

Kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan,melainkan sesudah disetujui dengan undang-undang.

Masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain, dilakukan oleh Presiden bahwa dengan kuasa undang-undang.

Tetapi kalau saya boleh mengkritisi ada poin-poin yang saya anggap perlu digaris bawahi dengan ketentuan dari berbagai aspek dan memiliki dasar yang betul betul sudah di anggap optimal,karena menurut pemahaman saya  bahwa UUD 1945 tidak memuat ketentuan secara lengkap karena tidak memberikan pembedaan antara
treaty dengan agreement, serta bentuk persetujuan yang seperti apa yang harus diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Apakah harus selalu berbentuk undang-undang atau yang lain, juga apakah semua bentuk perjanjian harus selalu mendapat persetujuan dari DPR.

Jika dibandingkan dengan kata-kata yang ada dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950, kedua hukum tertinggi ini lebih tegas menyebutkan wewenang presiden dalam hal membuat dan  mengesahkan (ratification).

Yaitu perjanjian dan persetujuan, termasuk turut serta (accession) dan menghentikan (termination)suatu perjanjian atau persetujuan internasional.

Karena menurut saya Indonesia merupakan negara dengan
tradisi civil law.

Indonesia mewarisi budaya hukum yang dibawa oleh kolonial Belanda pada saat itu.?

Menurut Arthur Goodhart, perbedaan mendasar antara sistem civil law dan common law ada pada konsep binding
force of precedent, dimana konsep ini tidak dikenal atau diakui dalam sistem peradilan di negara-negara civil law.

Demikian hal-nya yang terjadi di indonesia, pengadilan Indonesia tidak mengakui, bahkan tidak mengenal konsep precedent sebagai salah satu sumber hukum bagi hakim dalam menyelesaikan perkara.

Sumber hukum yang diakui di Indonesia saat ini termasuk dalam pasal 7 UU Nomor 10/2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Disebutkan dalam Pasal  7 bahwa hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945
2. UU/Perpu
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.

Maka dalam dalam setiap referensi yang saya pahami hal wajar kalau saya ada pertanyaan mengenai apakah suatu perjanjian internasional itu bersifat self-executing atau non self-executing merupakan pertanyaan domestik yang harus dijawab oleh pengadilan nasional masing masing negara.

Apakah sistem peradilan di negara tersebut mengijinkan hukum internasional untuk diterapkan secara langsung di pengadilan?

Atau apakah individu dapat menggunakan pasal-pasal dalam hukum internasional sebagai dasar untuk mengajukan gugatan di pengadilan?

Sebelum adanya UU Nomor 24/2000, ada banyak kasus yang menggunakan hukum internasional sebagai dasar hukum untuk
mengajukan klaim atau gugatan. Hukum internasional dan yang paling sering digunakan pada saat itu adalah Konvensi New York 1958. Mengenai pengakuan dan Pelaksanaan, putusan Arbitrase Asing. Indonesia adalah negara pihak dari Konvensi ini yang mana pengesahan Konvensi tersebut menggunakan Keppres Nomor 34/1981.

Dalam Keppres tersebut ada dua prinsip yang menjelaskan posisi Konvensi New York 1958 dan posisi indonesia sebagai negara pihak.

Prinsip-prinsip tersebut adalah: “(1) Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, mengindikasikan bahwa Konvensi New York 1958 dianggap sebagai perjanjian yang bersifat self-executing di Indonesia, sehingga implementing legislation tidak diperlukan; dan (2) terkait dengan karakter perjanjian yang bersifat self-executing, maka pemberiannya harus menggunakan prinsip timbal balik.

Salah satu kasus yang saya pelajari adalah tentang Kasus yang terjadi antara Navigation Maritime Bulgare (NMB). PT. Nizwar, dimana kasus ini terjadi sebelum. indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958.

Dasar hukum yang digunakan oleh NMB untuk mengajukan sita eksekutorial kepada pengadilan adalah Konvensi Jenewa 1927
mengenai Pengakuan Arbitrase Asing yang diratifikasi oleh Pemerintah Belanda.

Sehingga bagi saya pada saat itu muncul beberapa pertanyaan pula yang menjadi perdebatan pada saat itu adalah “apakah Indonesia juga terikat perjanjian internasional yang disahkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda?.

Sekilas dan mohon maaf apabila dalam tulisan ini ada yang tidak sesuai atau tidak sama dengan apa yang diketahui oleh para tokoh maupun para penyelenggara negara baik itu yang terlibat pada waktu itu maupun yang hanya sebatas mengetahuinya, karena ini adalah bagian daripada sejarah yang tidak akan bisa kita lupakan,apalagi mengenai poin penting tentang hal hal yang bersifat perjnjian.
(Iwan / JBN)

Komentar

Postingan Populer